Tungku dan Kompor Sehat Hemat Energi (TSHE-KSHE) /Kompor-Tungku Biomassa (Pekerjaan Studi Penyusunan Benchmark Tungku dan Kompor Biomassa dari Departemen ESDM - Puser Bumi Konsultan )
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, defenisi pencemaran udara adalah “…masuk/dimasukkannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam udara ambien untuk kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya…”. Bahan pencemar udara tersebut dapat berbentuk gas maupun partikulat yang merupakan unsur limbah yang umum dikeluarkan oleh kegiatan antropogenik, meliputi sektor permukiman, transportasi, komersial, industri, pengelolaan limbah padat, dan sektor penunjang lainnya.
Partikulat merupakan padatan atau cairan yang terdispersi di udara dengan ukuran lebih besar dari sebuah molekul tunggal (0,0002 μm) dan lebih kecil dari 500 μm. Partikulat dapat memberikan dampak negatif terhadap kesehatan, mengurangi jarak pandang, dan sebagainya. Besarnya efek yang ditimbulkan dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikulat, konsentrasi, serta komposisi fisik dan kimia. Partikulat berukuran tertentu memiliki kemampuan memasuki saluran pernafasan, >10 μm tersaring oleh bulu hidung, 5-10 μm mencapai trachea atau bronchus, 0,5-5 μm mencapai alveolus, dan <0,5 μm terdifusi ke dalam dinding alveoli.
Efek partikulat terhadap kesehatan manusia akan sangat berbahaya jika komposisi kimia yang dikandungnya berupa elemen-elemen logam yang bersifat toksik, yang antara lain dapat menimbulkan penyakit pneumoconiosis (paru-paru berdebu), granuloma (jaringan radang), kanker, mutan, dan metal fume fever (demam akibat uap logam). Oleh karena itu, pemantauan konsentrasi partikulat di udara hendaknya dilengkapi dengan penelitian terhadap komposisi kimia yang dikandungnya.
Pemantauan terhadap kualitas udara ditujukan untuk mengontrol sumber pencemar sehingga dapat mengurangi konsentrasi pencemaran udara ambien dan tidak membahayakan lingkungan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999, pemantauan konsentrasi partikulat di udara dikelompokkan atas 3, yaitu Total Suspended Particulate (TSP), Particulate Matter 10 dan 2,5 (PM10, dan PM2,5.).
Sedangkan dalam kaitannya dengan studi ini emisi CO adalah emisi yang sering dihasilkan dari proses pembakaran, dimana terjadi pembakaran dengan jumlah udara yang terbatas, sehingga terjadi pembakaran tak sempurna. Reaksi bahan bakar, terutama yang mengandung karbon pada reaksi pembakaran tak sempurna, tidak dapat menghasilkan CO2 maximal, tetapi akan didominasi oleh gas CO. Gas CO adalah gas yang bersifar racun, dan akan mengikat oksigen yang dibawa oleh darah dari proses pernafasan. Sehinnga manusia menjadi kekurangan oksigen, bila menghirup udara yang banyak mengandung gas CO. Oleh karena itu dalam kasus ini sering disebut keracunan gas CO.
Baik emisi partikel maupun CO sering terjadi pada pembakaran bahan bakar, terutama pembakaran bahan bakar padat. Bahan bakar padat yang banyak dikenal di masyarkat adalah batubara, arang atau kayu. Kayu merupakan bahan bakar andalan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, karena aspek ketersediaannya yang mudah selain harganya yang terjangkau. Harga yang relative murah ini disebabkan antara lain belum memasukkan factor biaya emisi lingkungan yang berupa hasil-hasil pembakaran tak sempurna, gas CO dan partikel debu. Kayu masih merupakan sumber energi terbarukan biomassa yang kalau dikembangkan teknologi pemanfaatannya dan budidayanya masih merupakan sumber energi yang akrab dengan lingkungan, dan merupakan sumber energi yang potensial di Indonesia.
Sesuai dengan kebijakan pemerintah di bidang energi dalam program diversifikasi sumber energi, adalah pemanfaatan energi terbarukan. Salah satu sumber energi terbarukan adalah biomassa. Dasar hukum yang melandasi kebijakan nasional terkait dengan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan antara lain tertuang dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional tahun 2006 – 2025, dan undang – undang no 30 tahun 2008 tentang Energi.
Energi biomassa yang masih banyak digunakan di masayarakat adalah kayu, terutama untuk kepentingan memasak di rumah tangga yang berada di perdesaan. Bahkan kayu masih digunakan untuk sebagai sumber energi dalam skala industri kecil atau usaha kecil. Kelebihan energi biomassa ini adalah termasuk jenis energi yang murah dibanding dengan sumber energi lain, serta dapat dibudidayakan langsung oleh masyarakat tanpa melalui suatu dukungan finansial dan teknologi tinggi.
Pada reaksi kayu dengan oksigen (sering disebut pembakaran), pada dasarnya terjadi bilamana kayu yang panas menghasilkan gas volatil yang kemudian mudah terbakar. Oleh karena itu untuk terbentuknya gas volatil dibutuhkan waktu, suhu yang tinggi dan turbulensi. Jika kayu dipanaskan hingga 6500C dan zat asam yang cukup bercampur dengan gas volatil akan dihasilkan pembakaran yang sempurna. Hasil pembakaran sempurna adalah zat asam arang (CO2), uap air dan panas. Kayu bakar kering mengandung tenaga panas separuh dari minyak tanah. Asap yang terbentuk dari pembakaran adalah energi yang terbuang. Untuk memanfaatkan kayu sebagai bahan bakar (sumber energi), orang mengunakan tungku. Ada pula sebagaian masyarakat tidak lagi menggunakan tungku, namun menggunakan kompor biomassa, yang pada dasarnya sama-sama membakar biomassa.
Pemanfaatan tungku biomassa yang telah berlangsung selama ini memiliki beberapa kelemahan, khususnya berkaitan dengan efisiensi dan emisi zat berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu dibutuhkan penyempurnaan rancangan tungku sedemikian rupa sehingga mampu meningkatkan efisiensinya dan menekan seminimal mungkin emisi zat berbahaya. Perancangan tungku biomassa modern telah berlangsung sejak dasawarsa 70 an. Perkembangannya mengalami percepatan setelah munculnya isu krisis energi fosil dan pemanasan global. Rancangan baru tungku biomassa utamanya bertujuan untuk memaksimalkan efisiensi dan menekan produk samping pembakaran yang berbahaya, yaitu CO dan partikel-partikel yang sangat kecil yang berukuran lebih kecil atau sama dengan 2,5 mikron (P2,5).
Rekayasa tungku yang baik berlangsung pada disain tungku dan preparasi bahan bakar yang sesuai. Disain tungku lebih berhubungan dengan efisiensi, sedangkan preparasi bahan bakar berhubungan dengan produk samping partikel yang tidak diinginkan karena sifatnya yang berbahaya bagi kesehatan. Di negara maju berlangsung penelitian berskala besar untuk mengubah bahan bakar biomassa padat menjadi gas atau cairan sehingga bisa menekan atau menghilangkan produk pembakaran berupa partikel, sekaligus meningkatkan efisiensi pembakaran. Efisiensi tungku yang telah direkayasa dapat berkisar dari 10 hingga 40%.
Rekayasa tungku biomassa yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi meliputi dua aspek penting, yaitu peningkatan efisiensi pembakaran dan perpindahan panas. Semakin sempurna pembakaran, yaitu semakin banyak oksigen di dalam campuran gas udara dan suhu yang tinggi, semakin tinggi pula efisiensi pembakarannya. Pembakaran merupakan sumber panas. Selanjutnya berlangsung aspek kedua, yaitu perpindahan panas, yaitu dari sumber panas ke kompnen yang memerlukan panas (panci, wajan, dls). Panas pembakaran yang tinggi tidak akan maksimal pendayagunaannya jika tidak diikuti oleh perpindahan panas yang maksimal pula. Oleh karena itu diperlukan rekayasa guna memaksimalkan perpindahan panas yang berlangsung di tungku.
Partikel berukuran sangat kecil perlu mendapatkan perekayasaan yang memadai sehingga pelepasannya ke lingkungan bisa ditekan serendah mungkin. Dewasa ini telah diusulkan beberapa ukuran untuk membatasi kadarnya di udara. Rekayasa penekan pelolosan partikel tungku lebih berupa pengarahan asap yang terjadi sehingga tidak memapar langsung kepada pengguna tungku. Unjuk kerja tungku yang baik belum berarti pasti diterima oleh pengguna. Oleh karena itu selain rekayasa desain yang baik dibutuhkan pula kemudahan pengoperasian dan kecantikan penampilan, selain harga atau biaya pembangunan tungku yang murah.
Pemanfaatan tungku dan kompor biomassa adalah penopang terbesar pemanfaatan energi biomassa di Indonesia. Sebagai Negara Agraris, Indonesia memiliki potensi bahan baku biomassa yang tinggi dan mudah diperoleh sehingga sebagian besar wilayah di Indonesia pemanfaatan biomassa mencapai lebih dari 50 %. Penggunaan biomassa terbesar berada di wilayah perdesaan yang memanfaatkan biomassa (kayu bakar) untuk energi memasak. Dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir, tingkat pemakaian energi biomassa untuk memasak tidak mengalami penurunan yang signifikan secara prosentase penggunaan energi di rumah tangga, bahkan tetap secara kuantitas.
Permasalahannya adalah tungku dan kompor biomassa yang dimanfaatkan masih bersifat konvensional dalam bentuk desain dan kinerja yang memiliki beberapa dampak negative, yaitu pembakaran yang tidak sempurna yang menghasilkan emisi karbonmonoksida dan partikel-partikel kecil yang menyebabkan polusi (indoor air pollution). Jika tungku tersebut digunakan diruangan tertutup, pengguna tungku akan mempunyai resiko tinggi mengidap penyakit pernapasan atau penyakit lainnya yang disebabkan adanya racun di dalam darah. Selain itu, tungku konvensional yang tidak efisien dapat menyebabkan tingkat konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi.
Beberapa decade yang lalu, program Tungku Sehat dan Hemat Energi (TSHE-Improved cook stove) telah dikembangkan di beberapa Negara dengan tujuan pengurangan tingkat polusi udara di dapur (Indoor Air Pollution), efisiensi penggunaan sumber daya biomassa, dan pengurangan emisi gas rumah kaca (karbon monoksida-CO dan particulate matter-PM2.5). TSHE yang dikembangkan memiliki beberapa kelemahan, yang paling utama adalah tidak adanya ukuran-ukuran kuantitatif yang menunjukkan keunggulan dari sisi penghematan sumberdaya, konservasi lingkungan, pengurangan polusi udara di dalam ruangan atau pengurangan emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan tungku atau kompor konvensional/tradisional. Untuk mengukur kinerja TSHE, telah dikembangkan beberapa metode pengukuran kinerja sejak tahun 1980an, yaitu Uji Mendidihkan Air (Water Boiling Test-WBT), Uji Masak Terkontrol (Controlled Cooking Test-CCT) dan Uji Performa di Dapur (Kitchen Performance Test-KPT). Namun demikian, tidak setiap program TSHE melaksanakan uji kinerja untuk ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti keterbatasan biaya dan kapasitas teknis untuk melaksanakan pengujian, serta adanya asumsi bahwa TSHE secara otomatis lebih baik dibandingkan tungku dan kompor konvensional/tradisional yang digantikannya.
Di tingkat internasional, telah dikembangkan tolok ukur kinerja (benchmark) TSHE, berbasiskan uji laboratorium oleh Aprovecho Research Center. Tolok ukur kinerja TSHE mencakup kuantitas kayu bakar yang dikonsumsi, energi yang dibutuhkan serta emisi karbon monoksida dan partikel yang dihasilkan, dalam uji standar mendidihkan air (Water Boiling Test-WBT). Tolok ukur berfungsi sebagai petunjuk kinerja tungku yang optimal secara teknis, yang tidak mencerminkan kinerja dalam pemakaian aktual atau di lapangan. Tolok ukur dikembangkan melalui tinjauan komparatif parameter-parameter terkait dengan efisiensi dan tingkat emisi karbon monoksida (CO) dan partikel £ 2,5 mikron (PM2.5). Jneis tungku di wilayah dimana tolok ukur akan diberlakukan.
Water Boiling Test (WBT) adalah metode pengujian yang digunakan untuk mengetahui kinerja suatu tungku dalam skala laboratorium, dimana kondisi iklim, bahan bakar (kelembaban, spesies, bentuk), jenis alat masak, pemasak termasuk cara mengoperasikan tungku dipertahankan sama di sepanjang pengujian. Pengujian ini tidak dapat digunakan untuk memperkirakan penggunaan tungku secara actual, tapi dapat digunakan untuk membandingkan model atau desain tungku. Yang dilakukan dalam WBT adalah mendidihkan air (boil) untuk mengatasi perbedaan hasil uji yang dialami oleh pengujian memasak actual (Cooking Test) karena perbedaan makanan pokok daerah satu dengan daerah lainnya.
Masalah perekayasaan TSHE yang dihadapi baik di situasi lapangan maupun pengembangan erat berhubungan dengan aspek keterukuran (measurability). Upaya yang telah dilakukan melalui penyusunan Kerangka Acuan Kerja Studi Penyusunan Benchmark Tungku dan Kompor Biomasa yang telah memasukkan komponen pengujian perlu mendapatkan apresiasi yang memadai. Guna meningkatkan nilai inovasinya, perlu ditekankan adanya keterukuran baik dalam arti target nilai variable, metode pengujian dan sarana peralatannya untuk aspek Konversi Energi dan Daya Guna Energinya yang berorientasi pada prinsip Konservasi Energi. Aspek kedua yang perlu dikembangkan adalah Keselamatan, yaitu keterukuran Risiko yang diterima Pengguna dan Lingkungannya. Aspek ketiga yang perlu mendapatkan penekanan adalah perkiraan Perubahan Konsumsi Energi Rumah Tangga sebagai hasil dari penggunaan TSHE.
Keterukuran merupakan sifat yang implementasinya bisa jadi tidak mudah. Untuk itu perlu adanya perumusan yang komprehensif maksud dan tujuan program, sehingga memberikan arah yang jelas bagi kebijakan implementasinya. Atas dasar ini bisa diharapkan tersusunnya program yang dapat diterapkan. Dengan mempertimbangkan kompleksitas yang akan dihadapi, pentahapan terhadap target final bisa menjadi pilihan strategi. Untuk seluruh aspek inovasi tersebut di atas, perlu dirumuskan target nilai-nilai variable pokok terlebih dahulu. Variabel pokok dan nilainya ditentukan berdasarkan kesiapan lapangan.
Permasalahan pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan dalam kaitannya dengan pemanfaatan TSHE tidak hanya ditinjau dari aspek teknis saja tetapi juga terkait erat dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, lingkungan dan juga perilaku/budaya masyarakat setempat. Dari pengalaman konsultan dalam menangani permasalahan pengembangan dan pemanfaatan emergi terbarukan di beberapa daerah, meskipun dari aspek teknis dapat terselesaikan, akan tetapi seringkali dalam aplikasinya di lapangan terkendala oleh kondisi sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu dalam kajian sosial dan lingkungan perlu ditekankan upaya pendekatan aspek kemasyarakatan.
Tukisan yang bagus. sangat bermanfaat. kapan2 kita share tentang lingkungan dan kemiskinan di Indonesia
BalasHapus